tentang dia…yang mencintaiku tanpa lelah…


Aku ingin bercerita tentang dia… tentang seseorang yang tak pernah lelah mencintaiku… seseorang yang tak pernah lelah menunggu jawaban atas pertanyaan cintanya yang tak pernah terjawab… seseorang yang tak lelah mencintaiku…seseorang yang selalu setia menunggu kesediaanku menjadi kekasih hatinya,,, mentari jiwanya…. dan pengobat rindu dihatinya…
Dia adalah… seorang ikhwan… yang tengah menuntut ilmu di ujung kota surabaya… jember…
Ingin sekali rasanya menyambut uluran kasihnya… ingin sekali rasanya menjadi seseorang seperti yang dia inginkan… menjadi kekasih dari seseorang yang mencintai ku dengan ketulusan hatinya yang terdalam, menjadi seseorang yang istimewa dari seseorang yang rela menungguku bertahun2 demi mendapatkan jawaban ‘ya’ dari mulutku…
tapi… apa dayaku, hatiku tak pernah tergerak untuk mencoba mencintainya… hatiku tak pernah tersentuh oleh segala pengorbanan yang telah dia berikan…. hatiku tak pernah merasakan ada cinta yang hadir untuknya walau sedikiiiiiit saja….
aq telah mencoba tuk hadirkan dia dalam mimpi2 q… aq juga telah mencoba tuk hadirkan bayang2nya dalam imajinasi ku yang menari2… berharap aku akan menemukan ada keajaiban bahwa tiba2 hatiku mencintainya…. menjadi seseorang yang bertahta dihatinya… dihati seorang lelaki yang punya ruang berjuta cinta….
Ah… tapi entah mengapa… semua itu terasa amat sulit bagiku,,, untuk sekedar mencoba mencintainya,,, hatiku telah terpasung oleh seorang mahluk adam yang telah menemani hari2ku sebelum dia hadir…. hatiku telah terjerat oleh seseorang yang telah 9thun mengisi hari2ku… walau penuh liku… penuh cerita luka , duka… tapi… tetaplah dia telah memenjara perasan cinta ku… hingga aku tak dapat berpaling darinya… walaupun dia menghianatiku….
Allah… bodohkah aq yang telah menyia2kan seseorang yang begitu mencintaiku,… memujaku dengan segenap cinta…?
tapi inilah aq… yang tak pernah bisa menghadirkan bayang lain… selain dia,,, seseorang yang pernah hadir dihatiku… mengukir indahnya kenangan,,, menyulam sakitnya luka… mengabadikan kisah2 dalam kesetiaan… aq selalu menafikan bayang2 lain yang berusaha hadir dengan janji cinta yang lebih indah…
Tapi aku yakin ya Allah… kesemua itu adalah karena Mu… karna kehendak Mu menciptakan hatiku untuk mencintai satu lelaki seumur hidupku… walau penuh luka,,, kecewa dan derita….
Engkauilah pemilik hati setiap mahluk ya robb… aku hanya berjalan pada titian takdir yang telah engkau gariskan… aku tak bisa menentangnya,,, apalagi menghapus taqdir…
jika nanti ternyata ada waktu yang telah menjadikan hatiku berubah… maka labuhkan lah perasaanku pada seseorang yang begitu mencintaiku,… yang tak pernah membagi cinta nya dengan yang lain… tapi jika taqdirku adalah agar aq terus mencintainya…maka… jagalah dia disetiap langkahnya… agar ia tak pernah menjauh darimu…
ka’ irsy… maafkan aq… karna aku mang tak pernah bisa… menjadikan mu hal terindah dalam hatiku….

izinkan aQ mencium mu ibu…


Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku �dipaksa� membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do�a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)